Di dunia ditahun 2050. Bayangkan udara saja tidak berpihak kepada kita. Suhu memanas ekstrim. Sebagian orang terpaksa mendekam setiap hari di ruang ber-AC dengan handuk basah menyeka wajah. Mata terus berair dan kita hanya dapat tertidur di setiap Subuh. Karena cuma itu waktu yang cukup sejuk diluar tembok rumah kita.

Peningkatan suhu menyebabkan kekeringan parah di banyak belahan dunia. Hanya orang kaya yang bisa membayar air. Keran keran di tempat publik dikunci. Hutan-hutan terbakar. 2 miliar orang berhadapan langsung dengan suhu yang bisa meroket sampai 60° Celcius. Titik panas dimana tubuh manusia tak dapat bertahan lebih dari enam jam.
2050 permukaan laut naik drastis menyebabkan badai ekstrem kota-kota pesisir tersapu pasang, dan banjir menewaskan ribuan dan menggusur jutaan orang. Beberapa kota terpadat di dunia tenggelam termasuk Alexandria, Cairo, Mumbai, Shanghai, bangkok, dan tentu saja Jakarta. Orang-orang harus mengungsi ke tempat yang lebih tinggi. Setiap hari kita akan melihat foto rombongan keluarga mengarungi banjir.Yang agak beruntung bisa tetap tinggal di rumah dengan air hingga mata kaki, seperti Jakarta di tiap musim banjir. Tapi ini diseluruh dunia.
2050 pandemi bukan hanya varian COVID. Perubahan suhu, banjir, urbanisasi, dan pergerakan populasi manusia mengakibatkan penyebaran penyakit. Setengah dari populasi dunia beresiko tertular malaria atau demam berdarah. Wabah baru bisa melampaui angka kematian penyakit jantung, menciptakan krisis perawatan kesehatan. Perusahaan asuransi pun menolak melayani. Apa yang kita lalui 2 tahun kemarin tampak tidak ada apa-apanya.
2050, Kelaparan merajalela, populasi dunia meningkat 9 miliar jiwa. Walau tingkat kesuburan manusia menurun, terlalu banyak mulut harus diberi makan. Sementara dunia kekurangan air, dan lahan yang bisa digarap. Bahan makanan akan semakin mahal. Jumlah orang kurang gizi di dunia pun terus meningkat. Sementara bantuan logistik, kalaupun ada pasti tiba terlambat. Karena terhambat bencana dimana-mana.
2050, hubungan internasional tak lagi akur. Setiap negara menjadi egois dan saling curiga. Perdagangan Global macet. Karena negara-negara berhenti mengekspor dan memilih mempertahankan sumber daya mereka sendiri. Padahal jutaan orang butuh bermigrasi. Tapi banyak negara Lockdown dan menjaga perbatasan dengan tentara.
Sedikit kesalahpahaman akan menciptakan perang, dan seperti biasanya netizen lalu memperuncing keadaan dengan memenuhi media sosial dengan teori konspirasi dan video-video propaganda. Teman-teman meski terdengar naskah disaster movie. Itu tadi tidak mengada-ngada, menghayal, atau menakut-nakuti. Semua gambaran itu berbasis pada penelitian dan data-data scientific. Hitungan skenario 2030, 2050, 2100, pertahun semuanya ada.
Isu ini bahkan telah mempertemukan para pemimpin dunia, tak terkecuali Indonesia. Kemarin Presiden Jokowi hadir dalam KTT. Sebuah forum tingkat tinggi yang diikuti 197 negara. Mereka membicarakan masa depan rencana untuk menghalangi skenario-skenario tadi terwujud. Memang sulit karena masing-masing negara punya kepentingannya sendiri. Akan ada tarik ulur yang berbelit-belit. Tapi kesepakatan harus dilaksanakan. Dunia harus melakukan pengurangan karbon secara progresif mencapai target 0% emisi segera. Negara maju yang secara historis lebih bertanggung jawab harus mau membantu pendanaan negara-negara lain untuk ikut memerangi krisis iklim
Dunia berpacu dengan waktu, gelisah tidak akan menghalangi 2050 sampai di kalender kita. Kita harus serius mempelajari isu ini, termasuk mengawal kebijakan dan langkah-langkah pemerintah. Sorotan terhadap 2050 menegaskan, Indonesia selama tinggal di planet yang sama tidak terbebas dari resiko maupun tanggung jawab. Ada yang bisa kita lakukan sebagai individu. Tentu saja itu perlu namun rangkaian kebijakan negara yang berdampak signifikan itu yang paling kita butuhkan segera. Kita tak bisa memilih planet tapi masa depan bisa.
Pemateri: Prof. Najwa Shihab
Judul Asli: 2050, Andai Kita Tidak Melakukan Apa-Apa Catatan Najwa
Sumber: https://www.youtube.com/@NajwaShihab
Gambar: Jose Antonio Alba dari Pixabay
Komentar
Posting Komentar